Monolog: Kisah Putih Ombak Pilu Bukan Halangan Yang Tak Dianggap Tawamu Yang Terakhir

Minggu, 29 Januari 2012

Underdog Bagian 5 (Akhir): Kematian dan Cinta!

Underdog: Cinta dan Kematian!
Ayo, baca sebelumnya:

Senja bertemu pagi, berulang lagi dan lagi, entah sudah berapa kali aku sendiri tak menghitungnya. Hingga hembusan nafasku kini masih belum kutemui tambatan hati. Ia yang menjadi dewi sejati, walau masih menjadi guratan abstrak yang tak kunjung ketemukan rindu senyumnya. Sendu yang menjadi kelambu hatiku, menyelimuti rasa inginku untuk bersamanya. Kembali melihatnya untuk menyelesaikan lukisan ini dan kuberikan padanya.

Lagi dan lagi kutarik nafasku, lalu kuhembuskan pilu hanya berteman sunyi dalam keributan. Aku menyendiri dalam pekikan semu orang yang membabi-buta. Pikiranku rancu. Membuatku semakin tak mampu membayang rupa senyumnya. Apakah yang harus aku lakukan? Batinku serasa ingin berteriak.


Singkat akalku memutuskan untuk menuju kamar ibu selepas sholat shubuh. Aku mengetuk pintu dalam bimbang, "Ma, ini aku," terlantun dari pita suaraku.

"Masuk saja, pintunya tidak dikunci."sahut dibalik pintu.

"Aku ingin bertanya."

"Iya, ada apa?" balasnya.

"Hatiku bergetar bimbang dan aku rindu akan seseorang, apakah aku jatuh cinta?"

Ia terlihat sedang memutar otak, "Uhm, iya. Kamu jatuh cinta dengan siapa?"

"Wanita." jawabku lugu.

Ia terpingkal-pingkal mendengar perkataanku, "Wah, anak mama sudah besar," lanjutnya dengan mata berbinar.

Aku hanya tersenyum, lalu pergi dengan perasaan sedikit mengganjal dihati. Dadaku berdegup dengan tempo lebih cepat. Aku memutuskan untuk bertanya kepada Dewi apakah ia merasakan hal yang sama. Walau harus menunggu mentari sedikit memunculkan sinarnya, karena ini masih terlalu awal untuk ke sekolah. Tak apalah. Aku bersiap-siap.

Sesampainya disekolah aku terus mencari jasadnya Dewi, nihil. Aku tak bertemu dengan Dewi. Masih sakitkah? Hingga akhirnya aku bertemu dengan teman Dewi waktu itu, dimana aku pernah meminta alamat rumah sakit Dewi. Hatiku mulai tersenyum, sedikit lebih cerah.

"Hai!" sapaku ringan.

"Hai!" balasnya.

"Ohya, Dewi masuk hari ini?"

Plaaaak. Ia menamparku. Aku terkejut. Aku tak mengerti apa yang sedang terjadi, apakah pertanyaan simpel seperti itu salah. Sungguh aneh.

"Kenapa kau menamparku?"

"Kau tak mendengar berita besar sekolah ini? Kau bodoh!" ujarnya dengan nada tinggi.

"Maksudmu?" aku menunduk.

"Dewi..." ia mulai mengeluarkan sendu diwajah diiringi tetes air mata, "Dewi... sudah meninggal!" ujarnya.

Aku terhenyak. Tertegun melihat raut wajahnya yang begitu tertekan. Aku juga. Tak sekalipun terlintas dibatin ini bahwa ia telah... Ia telah...

"Kau serius?" mataku terbelalak.

Ia mengayunkan kepalanya keatas lalu kebawah. Tak mungkin, pikirku dalam hati. Aku seakan terpaku ditempat dan tak bergerak, dadaku seakan berhenti berdetak. Ini tak realistis. Baru saja aku berkenalan dengannya, lalu Tuhan mengambilnya. Singkat saja waktuku untuk jatuh hati, namun Kau telah merenggutnya. Pedih.

Selepas sekolah, kala bintang siang tak lagi benderang, aku menatap cakrawala gelap malam. Terduduk sendiri diatas balkon rumah, tidak, aku tak sendiri, kanvas ini setia menemani. Disana aku menghitung jumlah bintang yang berjarak cahaya, menarik garis ilusi yang tergambar jelas diakalku. Yang kutangkap senyum sendu seorang Dewi.

Entahlah. Kuas milikku menari mengikuti guratan ilusi diiringi melodi jangkrik. Persis. Ia tampak persis seperti ilusi bintang tadi. Aku membalas senyumnya. Aku yakin ini adalah kau, ini kau Dewi yang kudamba. Hingga melodi jangkrik berganti alunan unggas jantan akhirnya aku menyelesaikan lukisan. Wajah Dewi dengan senyum sendunya. Aku gembira. Aku terbelenggu oleh tawa monoton yang tercermin dari lukisan ini. Indah. Sungguh indah.

"Aku mencintaimu, Dewi!" teriakku menggema dipagi buta.

Tampaknya aku mulai gila dengan tawa ini, aku benar-benar ingin memberikan hatiku padamu, Dewi. Aku mengambil pisau dari dapur dan kembali dihadapanmu.

Aku mengiris dadaku untuk membuka hati ini padamu, kulitku sedikit terkoyak, perih. Aku menusuknya lebih dalam hingga akhirnya aku tak mampu lagi mendorong pisau tersebut. Kabur, semuanya menjadi kabur. Aku belum menemukan hatiku untuk diberikan padamu. Aku hanya melihat merah lalu semua menghitam, gelap.

"Cintailah cinta dalam sugesti tak berlebihan, sejatinya dunia hanya menjadi ajang penyesatan setan, bertindak rasional agar tak terbelenggu tipu daya mereka. Cintailah hal sewajarnya dan jangan bertindak bodoh!" 
-Basith K. Adji

TAMAT

(Underdog karya BasithKA)
Dilarang menyebarluaskan cerbung tanpa izin penulis.

Bagikan Artikel di:

14 komentar:

  1. basith, jangan-jangan kamu mau bunuh diri demi aku #abaikan.
    sith ini bagian terakhir lama yee postingnya :(
    penantian tiada batas nih hahaha

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hahaha~ Aku gak mau mati dulu. Nggak berharga kalo aku mati sekarang, mati itu mirip steve jobs, yg berduka hampir seluruh dunia :p
      Hehehe... Iya, dari pada gak selesai, mending lama :p

      Hapus
    2. ngeledek cerbungku banget yang akhirnya aku hapus :(

      Hapus
    3. Aduhai, aku nggak ada kepikiran buat ngeledek pun >.<

      Hapus
  2. Wah gak ngikutin dari awal nih gue, tau-taunya udah meninggal aja. Udah meyedihkan aja, langsung kabur ke part 1 dulu, huahuahua..

    BalasHapus
  3. nyesek.
    susul aja gih dewinya sana! :P

    BalasHapus
  4. Wew, serem juga yah akhirnya, tapi sepertinya menarik, bersiap ke part awal.. :D

    BalasHapus
  5. "Cintailah cinta dalam sugesti tak berlebihan, sejatinya dunia hanya menjadi ajang penyesatan setan, bertindak rasional agar tak terbelenggu tipu daya mereka. Cintailah hal sewajarnya dan jangan bertindak bodoh!"
    Basith Kuncoro Adji

    Super sekali :D

    BalasHapus
  6. Bener2 keren. Gue suka, Bas.. Hahaha... Si tokoh utama kayakny bersifat pendiam dan agak pemalu yah? Peragu juga.

    BalasHapus

Komentar tidak melalui seleksi apapun. Jadi, ayo berkomentar! Tapi yang beretika yah. Terima kasih untuk tidak jadi Spammer. ^_^

newer posts older posts back home