Menatap dingin bara api di neraka; sebuah sikap dalam amarah. Rasa yang membuncah seakan memukul riuh hening malam. Aku diam, hanya merasa diantara kelam tanpa harapan. Mungkin saja ini sebuah ratapan yang tak kunjung usai, atau bahkan kejutan dari pencipta. Entahlah. Ungkapan ini yang membuat diriku menetap diam, lalu menyelam dalam. Berbagai stigma terus kutelaah, namun hanya nihil yang kujumpa. Buntu.
"Pantaskah aku hidup?" teriakku tanpa sasaran.
Badanku lunglai, menyeret langkah diantara coklatnya tanah tanpa cahaya, "Lalu, untuk apa hidupku ini?" lanjutku.
Aku memiliki tujuan hidup. Benar, setitik asa dalam jutaan yang membelenggunya. Walaupun aku merasakan hampa, menyendiri yang tak mendua, itulah harapku. Tuhan? Ialah zat yang menjadikan langkahku tegar diantara kepingan hina. "Ia ada. Namun, dimana?" monolog abstrakku masih berlanjut, "Mereka bilang disini, namun aku masih meratap sepi. Adakah aku kurang sesuatu? Aku telah menyembahMu tak mengenal waktu, tasbihku melantun diantara isak tangis ini. Masihkah itu kurang?" tanyaku.