Monolog: Kisah Putih Ombak Pilu Bukan Halangan Yang Tak Dianggap Tawamu Yang Terakhir

Rabu, 11 April 2012

Monolog: Kisah Putih

Secarik suci yang tak ternoda; itulah aku sang kertas putih. Tubuhku yang simetris dengan segala macam rupa tak menjadikan aku bangga. Walau disatu sisi mereka bilang diriku berguna. Aku menyediakan hadiah untuk mereka, berupa informasi yang tak ternilai harganya. Itu hanya kata pembaca. Setiap hari teman-temanku juga berkelana entah kemana. Seringan kumpulan kapas, begitu mudah melayang hanya dengan satu tiupan saja.

Kesana dan kemari. Aku dapat terbang ke sekolah, merelakan tubuh agar menjadi tempat bertenggernya frasa, menuangkan kembali sejarah, serta keindahan khasanah lainnya. Secara tidak langsung, aku pun berkomunikasi dengan sang pembaca, bahkan aku bisa menilik hingga ke dasar hatinya. Menangis? Tertawa? Perasaan itu begitu mudah untuk kupermainkan.

Minggu, 08 April 2012

Yang Tak Dianggap

Flower after rain.
Selaksa ribuan makna dalam bingkaian frasa indah. Tentang sepucuk bunga dan melodi hujan yang mengiringinya. Tidakkah kau tahu akan hal itu? Tentang sebuah pengorbanan yang tak kau kenal, dan mungkin tak akan pernah. Disinilah aku menjelma menjadi tetes hujan yang tegar. Aku yang menghujam tanah, riuh terpecah, dan menyerap di antara lembaran mahkota milikmu, bunga. Kau yang membutuhkanku untuk terus mempertahankan citra mekarmu. Namun, pernahkah kau sadar bahwa aku ada di balik rintik hujan itu? Ya, aku hanya setetes air diantara banyaknya yang tak pernah kau perhatikan.

Minggu, 01 April 2012

Kenangan Ajaib?

Memories.
Sebuah cerpen "kompilasi bersambung" bersama Andaka R. Pramadya. Silakan baca:

Part 1: Mentari Saksi Misteri!
Part 2: Setengah Malaikat

Aku menyulam rasa dibalik tunduk pasrahku. Membayang lekukan sabit yang menggantung indah di cakrawala. Tepat, itulah senyuman yang kini telah tiada. Aku tak lagi dapat menjumpainya. Tatap kepedihan ini terlukis jelas di iris mataku. Segala frasa mengalir lirih mengharap nostalgia bersama jutaan tawa. Nihil. Rasanya ingin sekali ku menghentikan waktu, atau mungkin memutarnya kembali hanya untuk menyentuh bibir manismu.

Terkadang desiran angin mengantar tidurku, sepoinya mengukir namamu, dan sejuknya menyadarkanku -- tentang dirimu. Aku tahu semua terlambat. Namun, apakah aku salah jika mengenangmu? Sekali saja. Cukup sekali setiap aku memulai hampanya dunia. Entahlah. Walau kau tak pernah membalas pertanyaan ini, aku tetap bersikeras bahwa kau selalu ada di relung hatiku.
newer posts older posts back home