Monolog: Kisah Putih Ombak Pilu Bukan Halangan Yang Tak Dianggap Tawamu Yang Terakhir

Kamis, 22 Maret 2012

Merenung Seksi?

Sang rembulan pasrah menatap mentari, mengapa begitu banyak sinar yang harus direfleksi? Nah! Satu kalimat yang bisa menghasilkan banyak interpretasi. Kalau diibaratkan sih, gue adalah sang rembulan. Hanya bisa pasrah mengerjakan sesuatu yang memang tugasnya. Lalu, siapa sang mentari? Ialah beban. Well, itulah sebabnya bulan ini gue gak bisa posting banyak di blog.  Hehehe. Sedikit intermezzo nih, bulan ini gue banyak sekali ulangan, dan sebagai pelajar gue harus belajar, dong? So, this is life! ^_^

Anyway, hari ini gue gak nulis sastra, tapi mau posting gambar! Yihaaaa~ Seperti judulnya, artwork ini gue kasih nama:

"Merenung Seksi"

Eits, pasti imajinasi kalian udah melanglang buana setelah tahu namanya. Gambar ini bukan cowok yang lagi nari pegang pom-pom terus duduk di jamban buat merenung kok. Kalian salah! Hahaha. Jangan juga mikir banci yang pake kerudung lagi kipas-kipas alay. 

Well, ini seorang cewek sekseh nan bahenol yang gue gambar dengan segenap tumpahan hati. Hihihi. Sebenernya ini adalah tugas di mata pelajaran seni, tapi gambar ini juga buat ilustrator kece Mega Shofani. Kita berdua janjian tukaran artwork. Oh ya, ini gambar yang dibuatin Mega a.k.a Yeyen buat gue.

Artwork from Mega Shofani.

Bagus banget, yah? Kira-kira gambar gue layak gak yaaaa~ Lihat aja~

Minggu, 11 Maret 2012

Mentari Saksi Misteri

Aku menyeduh mentari tanpa kehangatan bidadari. Disini, aku laksana cinta tanpa kasih. Ragaku menyendiri dalam kegelapan pagi dan menerawang masa kala dua hati bersama menjemput cahaya surya. Ia , sang pewarna hari, kini tak lagi hadir dalam dekapanku. Hampa. Aku terbelenggu akan ungkapan bahwa cinta berawal pada segumpal tawa dan diakhiri dengan tangisan belaka. Tepat, segalanya terjadi padaku. Jiwaku seakan meronta-ronta dalam diam, tetes senduku terus mengalir perlahan menghujam tanah.

Kebencian terhadap dunia tercermin oleh tatap tajamku yang masih basah. Rasanya aku ingin sekali mencabut ribuan nisan, lalu mecampakkannya ke samudra. Namun percuma saja, walaupun aku melakukannya, dunia ini tetap saja tak seimbang. Semua rasaku telah musnah, begitupula dia. Bayang yang tersisa hanya menjadi pelengkap secangkir hangat kopiku saat ini.

Tak ada alasan yang membutuhkan pembenaran, semua ini adalah takdir. Tak ada apa, tak pula mengapa. Seumpama bermain dengan pisau runcing, kelak ia akan menyayat lirih tubuhmu, dan itu sangatlah perih – seperti yang kurasa kini. Andai saja aku dapat memilah-milah waktu untuk kujelajahi. Jikalau aku bisa menjalani segalanya dengan keistimewaan di hati. Mungkin saja aku dapat bahagia. Lagi – seperti masa lalu.

Rabu, 07 Maret 2012

Impresi Megah: Kagum Yang Tak Terhingga!

Impression. (Picture here)
Aku termangu akan visualisasi rasa, segala yang kupandang adalah megah. Kagum. Aku tak mampu lagi mengukir frasa. Kelopak mata ini sungguh tak berhasrat berkedip walau sekali. Warna yang kontras, jingga yang mengelabui hijau, seakan menyihirku berada diantara keindahan senja. Bagiku, ini sudah terlampau sempurna.

Lenganku terbuka lebar, seperti menyambut pelukan hangat, "Lembah menangkap siluet gunung, kebun teh menghadirkan hembusan sejuk dunia," ungkapku sambil menarik nafas.

"Memang indah, namun pada akhirnya semua akan berubah," sahut seseorang dibelakangku.

Sabtu, 03 Maret 2012

Pohon Gundul Raksasa

Angin mengalun lembut dalam hiasan jingga. Indah. Pohon-pohon yang kokoh bak berlomba menelanjangi tubuhnya, dedaunan yang layu pun menari selaras 'tuk hinggap di lantai dunia. Hatiku yang sedari tadi sayu seakan ikut tenggelam dalam gemerlap senja. “Inikah gugur?” tanyaku dalam hati. Jeritan ini riuh menyelinap dalam sunyi – terpesona. Sungguh.

Mereka bilang aku bersandiwara, atau mungkin ini fantasi belaka. Biarlah. Aku cukup menjadi saksi sebuah cita; menapaki bumi Eropa. Aku juga berpikir ini adalah keberuntungan yang nyata. Ya, semua mungkin saja terjadi.

Langkahku menyeret lambat ditepian kota. Aku memandangi jalanan yang tak berpenghuni, lengang. Masih sendiri. Udara disekitar seakan membekukan aliran darahku, tujuh derajat celsius bukanlah hal yang wajar mengingat aku yang berasal dari daerah tropis. Bibirku meniup lembut kedua telapak tangan, ya terasa sedikit lebih hangat. Selang beberapa waktu, jejak kakiku terhenti, mataku menangkap refleksi cahaya; sebuah destinasi indah.


newer posts older posts back home